Selasa, 06 Januari 2009

Ketika Amanah Dimaknai Sebagai Karir Da'wah

Ketika Amanah Dimaknai Sebagai Karir Da'wah

Di suatu hari yang cerah, beberapa akhwat duduk melingkar dan mereka membicarakan banyak hal, salah satunya adalah tentang da'wah kampus. Seorang akhwat berkata, "Eh, si fulan karir da'wahnya sedang naik nih." Ternyata berita seorang ikhwan yang baru diamanahi sebagai ketua rohis fakultas di sebuah universitas, terdengar juga di telinga akhwat-akhwat ini. Kemudian mereka membicarakan pula teman-teman lain yang arir da'wahnya sedang menanjak. Hm...Karir Da'wah?

Di tempat lainnya, seorang aktifis sedikit mengeluh, "Masa gua lagi…gua lagi..yang ngerjain beginian, lah kapan gua naik pangkatnya..." Ia enggan mengerjakan tugas yang baginya tidak layak dikerjakan oleh ia yang sudah seharusnya menjabat posisi tertentu.

Seorang aktifis murung, wajahnya meredup kala mengetahui bahwa dirinya tidak tercantum sebagai calon ketua keputrian rohis, padahal ia sangat yakin dirinya akan masuk nominasi. Ia mengeluh kian kemari, dan tidak habis pikir mengapa dirinya tidak masuk, apatah lagi nominasi lainnya jelas-jelas belum berhijab. Dan ia sibuk mencari pembenaran. Kecewa, ia merasa dirinya lebih pantas dari yang lain.

Karir Da'wah dan Kesiapan Pemahaman
Di dalam Buku "Manajemen Sumber Daya Manusia 2" oleh Garry Dessler,
Career atau Karir diartikan sebagai seluruh jabatan yang didapatkan
seseorang selama hidupnya. Dan Career Path atau Jenjang Karir adalah
serangkaian pola dari pekerjaan-pekerjaan yang membentuk karir
seseorang. Karir membutuhkan perencanaan, yang mana seharusnya sebuah
organisasi memberi peluang kemajuan karir kepada anggotanya.

Sedang makna Da'wah adalah menyeru manusia kepada Al Haq, menyeru
manusia kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Di dalam
da'wah, ada nilai-nilai yang harus diemban, yaitu keikhlasan,
keteladanan, lemah lembut dalam menyuruh dan melarang, mengerti apa
yang harus dilakukan dan adil terhadap apa yang harus dilarang. Da'wah
dilakukan hanya karena Allah dan sang pengemban da'wah tidak meminta
imbalan kepada siapapun kecuali imbalan dari Allah SWT. Tanpa
orientasi "Allahu Ghayatuna" ini, maka rusaklah da'wah yang diserukan,
sia-sia sajalah apa yang sang da'i usahakan.

Di dalam organisasi da'wah, memang ada konsep fase-fase Da'wah
Fardiyah untuk membentuk seorang kader. Fase yang pertama adalah
tsiqoh, fase kedua menyatu dengan da'wah, dan ketiga adalah bergerak
bersama da'wah. Namun yang sering terjadi adalah lompatan fase akibat
mengejar target jumlah kader, yaitu dari fase pertama melompat ke fase
ketiga. Di mana saat fase ketiga ini, seseorang diajak bergerak
bersama dalam da'wah, dalam kepanitiaan atau kepengurusan misalnya.
Akhirnya timbullah gerak tanpa ruh, gerak tanpa diiringi pemahaman
mendalam tentang esensi da'wah. Hingga muncullah kader-kader yang
menganggap amanah kepemimpinan sebagai wujud keistimewaan, amanah
sebagai wujud karir.

Ketika seseorang bergabung dalam organisasi da'wah maka seharusnya
orientasinya bukanlah duniawi, tetapi ukhrawi. Ada cita-cita bersama
dalam jamaah. Sebuah organisasi memang menjadi tempat untuk menggali
potensi diri. Di dalam organisasi, kita dapat berlatih dinamika
kelompok. Di dalam organisasi, kita sparring dengan dunia kampus.
Namun organisasi da'wah berbeda dengan organisasi lain karena
organisasi da'wah menggelar acara dengan tujuan berda'wah, karena
Allah. Dan ketika seseorang yang belum memiliki pemahaman yang benar
tentang da'wah diserahi amanah sebagai pemimpin misalnya, yang terjadi
adalah terselenggaranya acara tanpa diiringi ruh da'wah, yang terjadi
adalah kader-kader yang berorientasi hasil dan bukan proses. "Ane
merasa menjadi sapi perah di organisasi ini…" Demikian keluhan seorang
ikhwan yang notabene seorang kader senior.

Hakekat Amanah
Berikut ini adalah hal-hal yang harus dipahami ketika seseorang
memiliki amanah:

1. Amanah = Tanggung Jawab.
Di dalam Islam, sebuah amanah kelak harus dipertanggungjawabkan di
hadapan-Nya. Ketika Allah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung, tak ada yang mau menerimanya kecuali manusia. Dan
adalah manusia itu sangat zalim dan bodoh. "Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (QS.34:71)

2. Jangan Merasa Berbeda
Seorang senior akhwat menegur juniornya yang tengah sibuk membuat
mading masjid. Ia berkata, "Dek, tidak seharusnya kamu mengerjakan
ini, teman-teman yang lain kan bisa melakukannya." Sang senior
beranggapan bahwa hal remeh temeh tidak seharusnya dilakukan oleh sang
junior yang menjabat sebagai ketua keputrian rohis. Sang junior
menatap seniornya, terdiam sebentar dan kembali melanjutkan
pekerjaannya. Ia sangat tidak setuju dengan pendapat seniornya karena
ia teringat Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam saat memerintahkan
untuk menyembelih seekor domba. Seseorang berkata, "Akulah yang akan
menyembelihnya", yang lain berkata "Akulah yang akan mengulitinya",
Lalu Beliau bersabda, "Akulah yang akan mengumpulkan kayu bakarnya."
Mereka berkata, "Kami akan mencukupkan bagi engkau." Beliau bersabda,
"Aku sudah tahu kalian akan mencukupkan bagiku. Tapi aku tidak suka
berbeda dari kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai hamba-Nya yang
berbeda di tengah-tengah rekannya."

3. Besarnya Amanah Bukanlah Indikasi `Lebih Baik'
Orang-orang terdahulu sangat memahami hakikat amanah sehingga mereka
tidak memandangnya sebagai kelebihan, justru sebagai sebuah beban.
Sebagaimana pidato Umar bin Abdul Aziz saat naik ke podium negara
untuk pertama kalinya, "Ketahuilah bahwa aku bukanlah orang yang
terbaik di antara kamu. Akan tetapi,aku hanyalah seorang laki-laki
seperti kamu semua. Namun Allah telah menjadikan aku sebagai orang
yang paling berat bebannya di antara kamu. "

4. Membumi Bersama Anggota
Pemimpin dalam Islam, bukan sekedar memerintah tetapi juga terjun
langsung bersama anggotanya. Ini bukan berarti sang pemimpin tidak
memiliki kafaah pendelegasian tugas, namun karena selayaknya seorang
pemimpin memberikan teladan dan melayani. Hal ini sebagaimana
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tunjukkan keteladanan itu
ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam membangun masjid Nabawi
di Madinah bersama para sahabatnya. Beliau tidak hanya menyuruh dan
mengatur atau tunjuk sana tunjuk sini, tapi beliau turun langsung
mengerjakan hal-hal yang bersifat teknis sekalipun. Beliau membawa
batu bata dari tempatnya ke lokasi pembangunan.

3. Berendah Hatilah
Sesungguhnya kita harus senantiasa berendah hati dan berlemah lembut
terhadap orang-orang yang beriman. Memiliki jabatan bukan berarti
angkuh di atas singgasana dan hanya memberi instruksi. Lihatlah Umar
bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang datang ke sebuah pasar untuk
mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang sendirian dengan
penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga
kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk
membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang
orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah.
Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan `Amirul
Mu'minin' sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya
menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya membawa
barangnya. Setelah ia tahu bahwa yang disuruhnya adalah seorang
khalifah, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu
kesalahan.

4. Jangan Karena Ambisi
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada Abdurrahman bin
Samurah, "Janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika
diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya.
Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong
mengatasinya."(HR.Bukhari dan Muslim)

Namun bukan berarti pula kita tidak boleh menerima amanah. Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang diserahi
kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum
lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan
mengindahkannya pada hari kiamat."(HR. Ahmad).

Atau seperti ucapan Nabi Yusuf di Surat Yusuf ayat 55, "Berkata Yusuf,
Jadikankah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan." (QS.12:55)

Khatimah
Organisasi da'wah tentu memiliki struktur dan itu hanya untuk
memudahkan kinerja, maka hendaknya kita tidak memandang istimewa
seseorang dari jabatannya, tetapi dari ketaqwaannya.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah
Ta'ala tidak memandang postur tubuhmu dan tidak pula pada kedudukanmu
maupun harta kekayaanmu, tetapi Allah memandang pada hatimu.
Barangsiapa memiliki hati yang shaleh maka Allah menyukainya. Bani
Adam yang paling dicintai Allah ialah yang paling bertaqwa." (HR.
Muslim).

Setelah memahami apa dan bagaimana amanah, maka tidak selayaknya
seorang kader memandang mulia orang yang besar amanahnya dan memandang
rendah dirinya hanya karena amanahnya tidak besar. Tidak selayaknya
pula seorang aktifis merangkai jenjang karir berupa karir da'wah dan
menghitung-hitung untung rugi, karena sesungguhnya Allah tidak menilai
besar kecilnya amanah, Allah tidak menilai tinggi rendahnya jabatan,
tetapi Allah menilai kesungguhan dan keikhlasan kita. Biarlah Allah
saja yang membalas da'wah kita ini, dan katakanlah sebagaimana para
nabi telah berkata, "Sesungguhnya aku tidak meminta upah kepadamu atas
seruanku ini, upahku hanyalah dari Allah, Tuhan Semesta Alam."
Wallahu'alam.

Senin, 08 Desember 2008

buat adinda

ku tahu apa yang ku limpahkan adalah yang terbaik buat aku dan seluruh keluarga ku yang tercinta,,,,,